
TEROPONG—Rambutnya sudah beruban, garis-garis keriput tampak jelas di wajahnya, badannya telah membungkuk, jalannya tidak gagah lagi. Pria tua itu tampak lesu dengan tatapan kosong melihat kendaraan yang melintas di jalan raya. Ketika ditemui HALO TEROPONG, Dogiyanto (63), warga Dusun Gendeng, Kelurahan Baciro, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, sedang duduk di atas becak kesayangannya yang diparkirnya di badan jalan menunggu orang menggunakan jasanya.
Pekerjaan sebagai tukang becak telah dilakoninya selama ‘hampir dua puluh lima tahun,’ katanya pada Selasa (20/8/2024). Pekerjaan itulah yang menopang kehidupan rumah tangganya, baik untuk memenuhi kebutuhan dasar dan juga biaya sekolah anak-anak. Dogiyanto kadang kerja serabutan sebagai buruh bangunan, tetapi pejerjaan utamanya adalah tukang becak. Merespons kenaikan harga barang kebutuhan pokok, khususnya beras yang mencapai Rp18.000/kg, Dogiyanto mengatakan bahwa ‘kenaikan harga beras sangat menyulitkan masyarakat kecil dengan ekonomi menengah ke bawah.’
“Penghasilan masyarakat kecil seperti kami ini tidak seberapa. Ketika harga barang-barang kebutuhan pokok naik, kami akan kesulitan. Tolonglah, pemerintah jangan menyulitkan masyarakat,” katanya. Ia berkata, penghasilannya hanya sekitar Rp10.000-Rp25.000/hari. Bahkan kadang tidak menerima pemasukan sama sekali. Berbeda halnya dulu ketika kendaraan roda dua dan roda empat belum sebanyak sekarang dan belum adanya transportasi online seperti Grab, Maxim dan sebagainya. Penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp50.000/hari. “Sekarang saingannya banyak,” ungkapnya.
Penghasilan istrinya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) juga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Naiknya harga beras, kata dia, membuat dia dan keluarganya beberapa kali terpaksa hutang di tetangga atau yang punya modal untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Keputusan untuk berhutang, katanya, mau tidak mau dilakukan karena selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun juga kebutuhan pendidikan anak bungsu mereka yang sekarang kelas tiga di salah satu sekolah menengah kejuruan.
Dalam perjuangannya mencari nafkah untuk keluarga, dalam pengakuan Dogiyanto tidak selamanya berjalan sesuai ekspektasi. Salah satunya, katanya, tidak mendapatkan pemasukan dalam sehari. Bahkan untuk makan, dia berhutang di warung-warung makan yang ditemuinya sepanjang perjalanan.
Meskipun Dogiyanto dan keluarganya termasuk penerima program-program bantuan dari pemerintah pusat, seperti Bantuan Keluarga Harapan (BKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), ia mengungkapkan bahwa bantuan-bantuan tersebut ‘hanya menolong untuk sementara, jangka pendek dan tidak permanen serta tidak mengubah keadaan.’ Dogiyanto pun berharap, pemerintah segera membuat kebijakan konkret untuk menekan kenaikan harga beras, bukan sekadar membagi-bagi bantuan.
Sementara warga lainnya, Cokro (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan bahwa selama dirinya masih sehat dan dapat bekerja, kenaikan harga beras tidak menjadi persoalan serius baginya. “Bersyukur saja, intinya masih sehat dan masih bisa kerja,” katanya.
Berbeda halnya dengan keluarga Dogiyanto, keluarga Cokro sama sekali tidak mendapatkan bantuan program dari pemerintah. Ia mengungkapkan persyaratan administrasi untuk pengajuan calon penerima program sangat menyulitkan masyarakat.
Padahal, beberapa warga yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petugas pendataan penduduk dipermudah. “Akhirnya saya tidak mematuhi beberapa persyaratan, sehingga sampai sekarang tidak menerima bantuan apapun dari pemerintah. Ya, kita tidak bisa berharap banyak pada pemerintah,” ungkap Cokro.
Saktya Restu Baskara, Koordinator Divisi Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) di Yogyakarta melihat bahwa kenaikan harga barang kebutuhan pokok, termasuk beras, mestinya dilihat dari persoalan tata niaga komoditas pertanian yang masih ruwet.
Akibatnya, kata dia, meski harga komoditas pertanian melonjak, padi misalkan, tetapi petani tidak menikmati hasilnya dan harus membeli beras kepada tengkulak dan pedagang dengan harga mahal seperti yang terjadi sekarang ini.
Keuntungan besar hanya diraih tengkulak, broker pertanian dan pedagang raksasa yang memanfaatkan rendahnya daya tawar petani dalam menentukan harga serta minimnya akses petani terhadap pasar. Karena itu, kata dia, perlu adanya upaya memangkas distribusi dengan membuka akses pasar bagi petani. (Vansianus Masir/Rifal Umbu Djawa)





























