Oleh:
Isak M.S.S. Waimbo
Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Papua (FOKMAPA) STPMD ‘APMD’ Yogyakarta Periode 2025/2026
Bayangkan kampus yang seharusnya jadi tempat produksi ilmu pengetahuan, gagasan diuji, kritik dipertajam, kini diawasi aparat. Mahasiswa tidak lagi punya keberanian bertanya karena takut diancam dan diintimidasi.
Itulah yang terjadi di Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua. Polisi masuk kampus. Tanpa prosedur hukum dan alasan yang jelas. Bahkan polisi menjatuhkan dan merusak beberapa motor mahasiswa yang parkir di halaman sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa Uncen.
Kejadian itu berlangsung pada 22 Mei lalu saat mahasiswa melakukan demonstrasi menolak kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dosen absen menyerukan perlawanan. Memilih diam dan menghindar. Bahkan ada yang suka menjilat, tunduk dan patuh buta pada kekuasaan.
Pengetahuan mereka digunakan bukan untuk mengurai dan menawarkan alternatif solusi atas persoalan rakyat, melainkan untuk menjustifikasi kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kepentingan publik dan menciderai akal sehat.
Demokrasi dilumpuhkan dari dalam
Dengan dalih stabilitas, kritik dibungkam. Ide dan gagasan ditakuti. Diskusi diawasi. Kebebasan berpikir, berekspresi dibatasi dan diredam.
Itu bentuk fasisme dalam dunia pendidikan yang membajak demokrasi, sebab demokrasi yang seharusnya tumbuh di lingkungan kampus dilumpuhkan dari dalam.
Masuknya polisi ke lingkungan kampus melanggar kebebasan akademik dan mengkhianati otonomi kampus yang bebas dari intervensi kekuasaan dan pihak luar.
Pendidikan sesungguhnya tumbuh dari perdebatan, dialog, kritik. Bukan dari budaya diam dan apatis. Pendidikan membebaskan, bukan membelenggu. Membuat orang berani, bukan hidup dalam rasa takut. Tetapi, apa yang terjadi di UNCEN memberi alarm: pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja.
Dalam Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire memaknai pendidikan sebagai praktik pembebasan. Pendidikan sejati mesyaratkan relasi yang dialogis dan egaliter antara pendidik dan peserta didik, bukan dominasi dan kontrol.
Peserta didik diperlakukan sebagai subjek yang punya martabat, kehendak bebas dan hak asasi. Bukan objek yang diatur dan dikendalikan sesuka hati pendidik.
Represi simbolik dan negara yang paranoid
Suara mahasiswa UNCEN yang bergema dalam aksi demonstrasi bertajuk ‘Stop Kapitalisasi dan Komersialisasi Pendidikan’ kemarin membawa realitas ketimpangan, kekerasan dan sejarah panjang marginalisasi yang dialami orang Papua.
Tetapi, suara mereka dianggap sebagai gangguan. Mahasiswa yang berpikir, mengkritisi dan melawan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum pun dilihat sebagai musuh dan ancaman.
Kemudian polisi didatangkan dengan alasan untuk keamanan dan perlindungan. Padahal itu bentuk ‘represi simbolik’. Polisi yang berjaga di kampus menunjukkan kampus takut pada pikiran-pikiran kritis, tidak mendidik nalar, tetapi membentuk ketakutan.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die menyampaikan, demokrasi mati pelan-pelan, bukan dengan kudeta, melainkan ketika lembaga-lembaga sipil kehilangan otonomi dan independensi.
Ketika kampus tunduk pada logika negara, bukan pikiran dan nalar. Ketika kampus menjadi bisu karena ketakutan, tanpa perdebatan dan argumentasi yang meyakinkan.
Selain itu, apa yang terjadi di UNCEN memperlihatkan negara yang paranoid. Negara yang mencurigai, mengawasi dan takut berlebihan pada gerakan mahasiswa.
Arief Budiman dalam kritiknya terhadap relasi negara dan ruang akademik menulis, negara yang tidak mengakui kebebasan intelektual, akan selalu berusaha mengontrol universitas.
Lewat birokrasi kampus, kurikulum, hingga intervensi aparat, kampus tidak lagi menjadi tempat penjaga nalar dan merawat kewarasan, tetapi sebagai kaki tangan negara.
Hari ini, itu yang kita lihat di Papua, khususnya di UNCEN. Kampus kehilangan ruang aman untuk bertanya, menggugat dan mempersoalkan.
Menolak diam
Dulunya, UNCEN jadi simbol gerakan, tapi kini menjadi simbol pembungkaman. Mahasiswa yang seharunya menjadi corong aspirasi dan garda terdepan suara kritis, sekarang diawasi.
Masyarakat Papua, terutama mahasiswa, tidak membutuhkan banyak polisi di kampus, tetapi ruang aman untuk bersuara tanpa takut dikriminalisasi. Jika negara menganggap mahasiswa sebagai musuh, maka ia sedang menggali kuburnya sendiri.
Apalagi di Papua, di mana ingatan sejarah akan luka yang begitu dalam dan trauma yang begitu panjang, kampus tidak boleh menjadi korban paranoia negara.
Pilihan kita hanya dua: kampus tanpa pikiran dan jadi ruang kosong yang hampa, atau tetap mempertahankannya sebagai ruang kritis. Mahasiswa dan dosen tidak boleh diam. Harus bersuara. Punya keberpihakan yang jelas. Masyarakat sipil perlu terlibat. Kebebasan berpikir mesti dibela.
Logika yang melihat ketertiban lebih penting dari kemerdekaan intelektual harus dilawan dan ditolak. Justru kampus harus ribut dan berbunyi untuk mengusik dan mengganggu kekuasaan agar mereka sadar dari mana kekuasaan itu berasal dan untuk apa kekuasaan itu digunakan.
Sekali lagi, kampus tidak boleh diam, sebab sesungguhnya diamnya kampus adalah tanda matinya demokrasi. Jika demikian yang terjadi, penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi secara membabi buta. Kita tidak ingin hal itu terjadi, bukan?
Editor: Vansianus Masir






























