Oleh:
Jansen Henry Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Sejatinya mahasiswa adalah seorang intelektual yang mengeyam proses pendidikan di perguruan tinggi, generasi penerus yang akan mengabdi di berbagai sektor kehidupan demi kemaslahatan bersama.
Karena itu, selain belajar di ruang kelas, para mahasiswa harus berkecimpung dalam organisasi sebagai wadah untuk membentuk karakter serta kualitas diri yang berguna untuk kehidupannya di kemudian hari.
Sehingga di kampus banyak kita temui organisasi mahasiswa baik organisasi internal seperti BEM, Senat/BPM, UKM maupun organisasi eksternal, serta organisasi mahasiswa kedaerahan dan yang lainnya.
Berbeda dengan organisasi siswa di tingkat sekolah dasar atau menengah yang secara umum menjalankan kegiatan hanya ketika diarahkan para guru/pembina, organisasi mahasiswa semestinya melakukan sesuatu yang positif atas dasar kesadaran, inisiatif dan kreativitasnya sendiri, tanpa diarahkan.
Itulah yang membedakan siswa dengan mahasiswa. Kata “maha” menurut KBBI memiliki arti “sangat, amat dan besar.”
Maka betapa tidak pantas status sebagai mahasiswa selama ia masih berbuat sesuatu seperti layaknya anak kecil yang selalu bergantung pada dorongan eksternal.
Ironis, hari ini kita dihadapkan pada sebuah potret buram ketika ‘organisasi mahasiswa dianggap hanya sebatas event organizer tetapi berkedok pergerakan.’
Padahal secara historis, sebagai seorang terpelajar mahasiswa memiliki peranan penting dalam menciptakan konsep brilian sekaligus suatu pergerakan atau aksi konkrit dalam menciptakan perubahan.
Misalnya Bung Hatta yang melakukan pergerakan kebangsaan yang diawali sejak kuliah ketika mengenyam pendidikan di Erasmus University Rotterdam.
Melalui organisasi mahasiswa bernama Perhimpunan Indonesia (sebelumnya dikenal Indische Vereeniging) yang diikutinya, Hatta menumbuhkan semangat anti-penindasan berbasis intelektual. Ia bahkan pernah menjabat sebagai ketua di organisasi ini.
Begitu pun dengan B. J. Habibie yang memulai riset beserta inovasinya sejak kuliah di Institut Teknologi Bandung serta RWTH Aachen Jerman.
Bahkan melalui organisasi mahasiswa yaitu Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Aachen, Jerman, B.J. Habibie menggagas sekaligus sebagai ketua pelaksana Seminar Pembangunan yang melibatkan mahasiswa Indonesia di Eropa untuk menyumbangkan ide dan gagasan kepada pemerintah Indonesia dalam menjalankan pemerintahan.
Melalui tulisan ini, saya mencoba mengeksplorasi mengapa organisasi mahasiswa hari ini menjelma sebagai event organizer berkedok pergerakan dan bagaimana merumuskan solusi untuk menyelesaikan persoalannya.
Penyebab dan Tawaran Solusi
Menurut saya, terdapat beberapa alasan mengapa organisasi mahasiswa kini lebih disibukkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial.
Pertama, gagasan hanya formalitas belaka bukan realisasi konkrit. Setiap organisasi mahasiswa pasti punya tujuan besar yang harus dicapai dan setiap individu yang tergabung di dalamnya secara bersama-sama berjuang mewujudkannya.
Biasanya dalam setiap organisasi, terdapat laporan pertanggungjawaban pengurus selama periode tertentu, biasanya satu tahun.
Di sini, kinerja pengurus dievaluasi, untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, tantangan dan hambatan yang dialami selama menjabat serta alasan di baliknya.
Ini nantinya menjadi landasan serta catatan bagi kepengurusan berikutnya dalam membuat program kerja dan kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan.
Selain itu, para kandidat yang mencalonkan diri sebagai pemimpin organisasi mahasiswa di kampus menyampaikan visi-misi dan gagasan serta komitmen untuk melaksanakannya setelah terpilih.
Namun semuanya terkadang hanya seremonial awal belaka yang tidak pernah terealisasikan, terlepas dari apapun problem yang dihadapi.
Maka dari itu seperti yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, ‘perlu satunya kata dan tindakan’ adalah hal yang harus dilakukan oleh organisasi mahasiswa agar tidak dianggap event organizer berkedok pergerakan.
Kedua, anti ribet dengan tetap berada di zona nyaman. Problematika yang dihadapi oleh organisasi mahasiswa saat ini adalah individu yang ada di dalamnya ‘tidak mau ribet dan tetap berada di zona nyaman’, akibat tidak mau bersusah-susah menanggung risiko.
Terkadang alasannya sangat pragmatis, seperti ‘nanti susah membagi waktu dan tidak bisa lagi untuk bermain bersama teman’, atau ‘takut pimpinan kampus atau dosen tidak setuju’, dan sebagainya.
Alasan-alasan tersebut tidak menunjukkan mentalitas dan cara berpikir mahasiswa yang berani memilih melawan arus serta siap dengan segala konsekuensinya.
Berbicara soal pergerakan adalah ada sesuatu ide besar yang harus dijalankan, tidak hanya ide semata.
Padahal untuk mencapai hal besar terkadang kita harus keluar dari zona nyaman dan niat untuk mengerahkan sedikit tenaga yang kita punya untuk melakukannya.
Sutan Syahrir pernah mengatakan, ‘hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan dapat dimenangkan.’
Apabila organisasi mahasiswa ingin mewujudnyatakan ide-ide besar maka keluar dari zona nyaman adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi pengurus dan anggotanya.
Ketiga, belum menjadi trendsetter tapi follower. Organisasi mahasiswa hanya sebatas pengikut kegiatan pada umumnya yang sifatnya rutin seperti rapat, dan lain-lain.
Ini menjadi kendala bagi para pelaku organisasi mahasiswa untuk berani menjadi trendsetter, penggerak dan pelopor perubahan yang menginspirasi dengan berbagai inovasi.
Saat ini sudah jarang sekali kita menyaksikan organisasi mahasiswa yang berani untuk melakukan kegiatan yang sifatnya progresif, semisal mengadvokasi persoalan rakyat yang termarginalkan bahkan tanpa dukungan jajaran kampus sekali pun atau mengkritisi kebijakan kampus itu sendiri yang dianggap tidak sesuai.
Sudah saatnya organisasi mahasiswa membuat program terobosan yang berdampak konstruktif, baik bagi kehidupan kampus maupun lingkungan yang lebih luas, bukan sekadar menjalankan agenda rutin yang sama setiap tahun.
Keempat, tidak ada dukungan yang konkrit dari hampir seluruh mahasiswa aktif. Harapan besar tanpa dukungan dari semua pihak hanyalah angan-angan.
Organisasi mahasiswa hari ini kebanyakan ‘tidak mendapatkan respon yang positif dari hampir dari sebagian besar mahasiswa yang ada di kampus’ dan ‘adanya pandangan yang menganggap organisasi mahasiswa hanya buang-buang waktu saja.’
Di era yang serba terbuka dan praktis ini, mahasiswa memilih untuk tidak mau terlibat dalam pergerakan mahasiswa yang dianggap terlalu menyita waktu.
Itulah yang menyebabkan kurangnya partisipasi mahasiswa dalam menyukseskan organisasi mahasiswa.
Maka untuk mewujudkan organisasi kemahasiswaan di kampus agar semakin produktif dan sebagai kawah candradimuka untuk membentuk insan yang berkualitas, dibutuhkan dukungan kolektif dari sesama mahasiswa.
Kelima, profit oriented bukan benefit oriented. Seperti halnya event organizer, saat ini orientasi organisasi mahasiswa adalah ingin mendapat keuntungan/profit setelah menyelenggarakan kegiatan tertentu.
Mestinya orientasi organisasi mahasiswa tidak melulu soal keuntungan tetapi yang paling penting adalah tentang kemanfaatan.
Dengan begitu, mahasiswa turut andil dalam mengamalkan Tridharma Perguruan Tinggi yang salah satu poin utamanya yaitu melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Keenam, tidak jarang, organisasi mahasiswa dikendalikan serta menjadi abdi jajaran petinggi kampus atau kekuasaan negara dalam melakukan kegiatan.
Seharusnya mahasiswa adalah manusia merdeka dalam menentukan sikap serta mampu melakukan suatu kegiatan secara independen tanpa dikendalikan oleh siapapun.
Sebab hanya dengan jalan demikian, pergerakan organisasi mahasiswa tidak mudah terkooptasi dan digembosi, sehingga bisa berperan sentral sebagai oposisi sejati yang kokoh dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum.
Editor: Vansianus Masir






























