Oleh:
Nursyamsiah
Alumni Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta
Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, secara tegas menjelaskan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itu, sangat penting meletakan dasar pandang tentang Desa. Desa telah menjadi institusi sekaligus aktor di panggung pembangunan nasional, lebih lama dari pada negara, pemerintahan daerah atau badan-badan resmi bentukan pemerintah lainnya.
Sampai dengan saat ini, desa memainkan peran besar sebagai kontributor sumber-sumber ekonomi yang berbasis agraris.
Desa memiliki resource (sumber daya) yang sangat potensial untuk dikembangkan, tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga dengan berbagai jenis keanekaragaman pertaniannya.
Desa juga memiliki kredibilitas dan kreativitas dalam menata dan mengelola tatanan sosial kemasyarakatan, karena desa memiliki modal sosial yang relatif kuat. Hal ini terjadi jauh sebelum negara Indonesia merdeka.
John Clark (1995) dalam bukunya berjudul ‘NGO dan Pembangunan Demokrasi’ mengatakan, di negara-negara yang sedang berkembang seperti India, Kamboja, Bangladesh, Brasil, Filipina, Thailand, termasuk Indonesia, keberadaan desa sangat terkait erat dengan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal melaksanakan kegiatan-kegiatan bersifat agraris sebagai basis penyangga kehidupan ekonomi sekaligus sebagai arena pembentuk identitas sosial dan budaya, dengan etos kerja dan hubungan sosial yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas setempat.
Di sisi lain desa sering kali menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola dan menjalankan sistem tatanan masyarakat dan pemerintahannya untuk melayani seluruh pemangku kepentingan.
Desa telah melakukan banyak aktivitas secara sangat mandiri dan bahkan membantu banyak orang yang paling membutuhkan, yang sebelumnya tidak pernah mendapat bantuan program dari instansi resmi pemerintah.
Desa telah memelopori pendekatan pembangunan yang mengedepankan mekanisme demokratis dengan model bottom-up, dan sekaligus menentang pembangunan ortodoks (kuno) yang top-down.
John R. Schermerhorn (1997 :150) mendefinisikan perencanaan dari bawah (bottom up planning) sebagai suatu proses menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana sesuatu hal dapat dicapai, dengan mengikutsertakan masyarakat (stakeholder), dan tujuan merupakan hasil atau sasaran khusus yang diharapkan dapat dicapai.
Dapat dikatakan model bottom up planning yaitu proses perencanaan pembangunan berdasarkan aspirasi dan masukan dari warga desa.
Secara lebih khusus lagi, telah banyak desa-desa di Indonesia yang berhasil menentang program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah supra desa yang secara sosial dan lingkungan telah merugikan masyarakat.
Misalnya desa-desa adat di Padang atau yang sering disebut Nagari, serta beberapa desa adat di Kalimantan dan Sumatera, yang menolak Alokasi Dana Desa (ADD) dan bantuan dari pemerintah pusat, jika pemberian ADD atau pun bantuan dana lainnya disertai pola pengaturan yang tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat desa setempat.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi bagian dari bekerjanya mekanisme pembaruan desa.
Pembaruan, demokratisasi dan kemandirian desa
Konsep dan gagasan pembaruan desa, lahir dari sebuah proses refleksi dan evaluasi kritis yang dilakukan oleh para aktivis yang peduli terhadap perbaikan nasib warga desa.
Pembaruan desa merupakan sebuah konsep yang ditawarkan pertama kali oleh Dadang Juliantara pada tahun 2000.
Ia merupakan salah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Yayasan Lapera Indonesia, yang wilayah kerja-kerja advokasi dan pemberdayaannya berada di wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Konsep ini bercita-cita untuk memperbaiki pola relasi politik dan interaksi kebijakan demi tercapainya perubahan dan perbaikan terhadap desa ke arah yang lebih demokratis dan otonom.
Kita ketahui bahwa selama beberapa dekade di bawah rezim Orde Baru (Orba), pembangunan merupakan satu-satunya konsep sekaligus model pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk masuk ke desa dan ‘mengobjekkan’ desa sebagai ‘wilayah administratif terendah dari berbagai proyek pembangunan’ serta secara bersamaan bekerja pula ‘mekanisme eksploitasi terhadap desa’.
Dalam bukunya berjudul ‘Hegemoni Negara: Ekonomi Pedesaan Jawa‘, Duto Sosialismanto (2001) menyebutnya sebagai ‘proses hegemoni negara terhadap ekonomi dan politik pedesaan.’
Pembaruan desa memang tidak secara eksplisit disebutkan apalagi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, atau pun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hingga yang terbaru Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi dalam undang- undang tersebut, mengisyaratkan adanya ‘pola pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis dan otonom’.
Pembaruan desa sebagai sebuah proses, memiliki kaitan yang sangat erat dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan, baik ditingkat desa maupun tingkat nasional.
Asumsi dasarnya, agar pembaruan dan otonomi desa bisa terwujud, maka demokratisasi desa harus diperkuat.
Desa harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Terlepas dari pro-kontra konsep pembaruan desa, yang mendorong terwujudnya kemandirian desa, setidaknya menimbulkan ketegangan dan tarik ulur kewenangan dengan pemerintah di atasnya, dalam hal ini pemerintah kabupaten.
Harus diakui bahwa kebijakan otonomi desa di Indonesia secara tersirat dilaksanakan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Secara normatif kebijakan tersebut memberikan pola pengaturan yang ‘relatif demokratis dan otonom’ terhadap desa.
Misalnya pada aspek politik, kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) dipilih secara langsung oleh warga desa; BPD memiliki kewenangan yang relatif kuat, karena BPD dapat menolak pertanggungjawaban kepala desa.
Pada aspek otonomi desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ‘mendelegitimasi sistem uniformitas’ atau ‘penyeragaman terhadap sebutan desa,’ yaitu dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat desa untuk merumuskan dan mendefinisikan nama lain atau dengan sebutan lain selain desa sesuai dengan aspirasi dan nilai- nilai masyarakat lokal setempat.
Kondisi inilah yang disebutkan sebagai era dimulainya demokratisasi dan transisi menuju kemandirian bagi desa.
Terjadi reduksi
Proses demokratisasi dan otonomisasi desa yang sedang berlangsung, mengalami reduksi, setelah pemerintah pusat merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Salah satu bentuk reduksi dari undang-undang tersebut adalah dengan mengubah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi Badan Musyawarah Desa (Bamusdes), yang disertai pengurangan kewenangan yang dimilikinya.
Dalam salah satu klausulnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga memosisikan kepala desa tidak lagi sejajar dengan Bamusdes, tetapi Bamusdes merupakan bagian dari pemerintah desa.
Oleh sebagian kalangan akademisi dan para aktivis desa menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan bentuk ‘barternisasi’ demokratisasi desa dengan ‘uangnisasi’ desa, karena memang dalam undang-undang tersebut mengamanatkan adanya Dana Alokasi Desa (DAD) atau yang sering dikenal dengan istilah Alokasi Dana Desa (ADD).
Dua visi demokratik
Dari dinamika demokratisasi dan otonomi desa tersebut di atas, maka kewenangan yang luas dalam bentuk ‘otonomi desa’ akan memungkinkan bagi desa mewujudkan minimal dua visi demokratik.
Pertama adalah adanya komitmen untuk mewujudkan kebebasan individu, kebebasan warga desa, kebebasan pemerintahan desa yang disertai tanggung jawab dalam pelaksanaannya, sehingga ekspektasi soal kemandirian desa dapat diwujudkan.
Meminjam pandangan James G. March dan Johan P. Olsen (1995: 2-4) dalam buku Democratic Governance menyebutkan bahwa, warga negara demokratis adalah mereka yang menghargai ruang-ruang privat pihak lain dan melindungi kebebasan individu untuk memiliki kehidupan pribadi dengan syarat bahwa tindakan individu tersebut tidak mengganggu hak-hak individu lain yang melakukan hal yang sama.
Bagian esensial yang kedua dari visi demokratik desa adalah gagasan tentang adanya ‘kedaulatan rakyat’ dan ‘kesetaraan politik’ bagi masyarakat desa.
Dalam konsep ini, tanggung jawab pelaksanaan pemerintah tidak hanya berada di tangan pemerintah pusat yang secara formal ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu, tetapi juga berada ditangan rakyat yang berdaulat, bebas dan memiliki hak-hak yang sama.
Visi demokratik ini mengasumsikan bahwa kemauan untuk menerima keadaan tentang bagaimana masyarakat desa seharusnya diatur dan bagaimana keputusan tentang prinsip-prinsip kebijakan diambil.
Dalam rangka membangun dan menyejahterakan desa, pengambilan kebijakan harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua warga masyarakat secara seimbang, tanpa dikooptasi dan direduksi. Inilah salah satu bagian terpenting dari terjemahan kemandirian desa.
Bagaimana mewujudkan kemandirian desa?
Untuk mewujudkan kemandirian desa, penyusunan kebijakan dan program pembangunan desa diselenggarakan berdasarkan kewenangan desa sebagaimana diatur dalam UU Desa.
Menurut UU Desa, kewenangan desa mencakup penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa.
Perencanaan pembangunan desa yang baik dan berkualitas, tidak hanya menjadi dokumen administratif pemerintah desa, akan tetapi itu menjadi pedoman/panduan Rencana Strategis Pembangunan Desa (Renstra Desa), dan dijabarkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).
Sebagai dokumen perencanaan pembangunan tahunan desa, secara kewenangan desa memiliki otoritas merencanakan pembangunan desa berdasarkan inisiatif, prakarsa dan potensi desanya.
Editor: Vansianus Masir






























