OPINI: Pembangunan Desa, dari Greed Economy ke Green Economy

5
17
Ben Senang Galus/Foto: Dok. pribadi

Oleh:

Ben Senang Galus

Penulis buku/esais, tinggal di Yogyakarta

Pada saat ini pemerintah desa di seluruh Indonesia sedang menggenjot pembangunan untuk meningkatkan pendapatan demi kesejahteraan masyarakat.

Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan, semuanya itu bertumpu pada sumber daya alam yang pada saat ini yang menjadi tulang-punggung perekonomian desa.

Anehnya, dari berbagai sumber daya alam yang dipaksakan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah sektor pertambangan. 

Berbagai literatur mengatakan, pengelolaan sumber daya alam,  tidak ramah lingkungan yang mengakibatkan terjadinya  bencana alam: banjir, tanah longsor, kenaikan temperatur, perubahan iklim, badai, cuaca yang tidak dapat diprediksi secara baik sehingga menimbulkan sulitnya melaksanakan program pengentasan kemiskinan yang utama pada petani. 

Melihat akibat buruk yang ditimbulkan, semestinya pemerintah desa mempromosikan  pembangunan apa yang disebut ekonomi hijau (green ecconomics) yang tidak merusak lingkungan, yang sudah dilakukan oleh para petani di beberapa daerah  seperti, kopi, cengkeh, fanili, porang, jagung, padi, ternak, dll yang sudah digeluti petani sejak ratusan tahun lalu.

Ekonomi Hijau

Cato  M.S. dalam Green Economicss: An Introduction to Theory, Policy and Practice, Earthscan, London (2009,p.65), dengan sangat tepat memberikan definsi ekonomi hijau, dengan mengatakan: Greening the economy refers to the process of reconfi-guring business and infrastructure to deliver better returns on natural, human and economics capital investments, while at the same time reducing green house gas emissions, extracting and using less natural recources, creating less waste and reducing social disparities.

Pesan penting dari definisi ini ialah kegiatan ekonomi hijau tidak merugikan atau merusak lingkungan, dan mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi petani.

Jika desa menggerakkan pembangunan ekonomi hijau, sebagai model pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan, maka desa telah berpartisipasi dalam menanggulangi dampak perubahan iklim yang terjadi.

Ekonomi hijau kurang lebih menjadi jawaban dari ekonomi coklat (chocolate economy) yaitu kegiatan ekonomi yang memproduksi banyak karbon.

Ekonomi coklat merupakan kegiatan ekonomi yang menggunakan energi secara tidak efisien (boros) tetapi secara sosial tidak cukup inklusif, yaitu tidak melibatkan banyak orang dalam proses pengambilan keputusannya, dan mendatangkan masalah sosial baru bagi daerah.

Selain berdampak buruk pada kualitas lingkungan, munculnya kasus-kasus kerusakan lingkungan pertambangan di beberapa wilayah di Indonesia,  menunjukkan bahwa secara sosial masih sangat eksklusif, tidak mewujudkan keadilan sosial, bagi masyarakat.

Manfaat dari eksploitasi tambang tersebut sebagian besar dinikmati hanya oleh sebagian kecil orang/kelompok dalam bentuk izin atau hak-hak pemanfaatan yang diperolehnya.

Padahal dampak negatif dari kegiatan pertambangan tersebut justru ditanggung oleh masyarakat sekitar yang menanggung kerusakan lingkungan.

Hal inilah yang ingin diminimalisir/dihindari melalui pembangunan berparadigma ekonomi hijau (green economy).

Ekonomi Hijau menurut Cato, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) berbasis ekonomi lokal, 2) ekonomi hijau akan dipandu oleh nilai keberlanjutan dari pada oleh nilai uang, 3) ekonomi hijau akan meninggalkan kecanduan pada pertumbuhan  ekonomi dan mengarah pada ekonomi steady-state, 4) ekonomi hijau akan menjadi ekonomi yang ramah di mana hubungan dan komunitas menjadi pengganti konsumsi dan teknologi, 5) ekonomi hijau memberi peran yang lebih luas bagi ekonomi informal dan sistem koperasi dan berbasis komunitas yang saling mendukung, 6) dalam ekonomi hijau, sistem kesehatan akan fokus pada pengembangan kesehatan yang baik dan penyediaan perawatan primer, berbasis lokal dari pada  obat berteknologi tinggi dan perusahaan farmasi yang luas, 7) ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem pertanian intensif dengan pertanian organik dan ber-bagai sistem seperti pertanian dengan dukungan komunitas, di mana manusia terhubung lebih dekat dengan sumber pangannya, 8)  ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Ekonomi hijau, sebuah rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesejahteraan (kesetaraan) sosial, yang sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan.

Ekonomi hijau juga berarti perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial (UNEP, 2010).

Sedangkan ekonomi hijau ekologis merupakan sebuah model pembangunan ekonomi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan ekonomi ekologis.

Ciri ekonomi hijau yang paling membedakan dari rezim ekonomi lainnya, menurut Cato, adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya di mana biaya yang diwujudkan ke masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban, kesatuan yang tidak membahayakan atau mengabaikan aset.

Dengan kata lain ekonomi yang dapat menghasilkan kebahagiaan umat manusia dan keadilan sosial, dan sekaligus mengurangi resiko kerusakan lingkungan dan kelangkaan ekologi.

Ekonomi hijau juga dimaknai sebagai ekonomi atau model pembangunan ekonomi yang didasarkan pada pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan tentang ilmu ekonomi ekologi.

Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”.

Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan.

Perubahan Paradigma

Dari sini terlihat pentingnya perubahan paradigma dan perilaku bagi aparatur desa, untuk selalu mengambil setiap kesempatan dalam mencari informasi, belajar dan melakukan tindakan demi melindungi dan mengelola lingkungan hidup.

Dengan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan.

Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan.

Sebut saja, meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. 

Tidak ada kata terlambat. Sudah saatnya pembangunan di desa beralih dari greed economy (ekonomi yang serakah-ekonomi tambang) ke green economy (ekonomi hijau) agar pembangunan dapat berkelanjutan, angka kemiskinan dapat di pangkas/ditekan, dan kesejahteraan bisa dinikmati semua orang.

Kerusakan lingkungan dan kemiskinan terjadi karena keserakahan (greed)  tingkat konsumsi berlebihan, tingkat kerusakan lingkungan yang tidak bisa dibendung, dan diabaikannya kelestarian lingkungan.

Dengan demikian ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir kegiatan ekonomi, juga diharapkan memberi dampak tercapainya keadilan, baik keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan dan sumber daya alam itu sendiri.

Filosofi ekonomi hijau adalah adanya “keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial   dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi.”

Pembangunan desa yang selama ini cenderung mengadopsi model greed economy harus bertransformasi menuju green economy untuk menjamin keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Peralihan ini membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Dengan demikian, desa tidak hanya menjadi tempat tinggal yang layak, tetapi juga berperan sebagai penopang utama pembangunan nasional yang ramah lingkungan dan inklusif.