Oleh:
Rifal U. D. Takajaji
Pimpinan Umum LPM TEROPONG
Dalam filsafat, ontologi artinya hakikat, esensi atau inti keberadaan sesuatu. Maka, kalau bicara tentang ontologi manusia, artinya kita sedang berbicara tentang hakikat terdalam keberadaan manusia.
Menurut Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, panggilan ontologis manusia yakni untuk menjadi subjek dari kehidupannya sendiri sehingga ia bisa menjadi manusia yang sepenuhnya manusia.
Subjek berarti ia adalah pelaku, penentu, pembaca dan sekaligus penulis dari dunia tempat ia hidup. Bila ia dijauhkan dari kedudukan sebagai subjek, maka ia diperlakukan seperti benda.
Ia tidak lagi manusia dalam arti yang sejati, melainkan hanya makhluk yang bergerak menurut arahan dari luar.
Berbeda dari makhluk lain, manusia memiliki struktur ontologis. Ia adalah makhluk yang belum selesai (unfinished), sadar, dan historis dan selalu tergerak untuk menjadi lebih.
Inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain, seperti halnya hewan yang tidak pernah bertanya tentang makna hidup. Mereka tidak gelisah tentang keadilan, tentang masa depan, atau tentang dunia yang bisa diubah.
Manusia berbeda dari makhluk lain bukan semata karena punya akal atau karena bisa menciptakan alat, tetapi karena sadar bahwa ia bukan hanya ada melainkan juga mengada; bukan hanya bertahan, melainkan juga mencipta, merancang, dan memaknai.
Dari kesadaran itulah lahir kegelisahan, pertanyaan, dan kehendak untuk menjadi lebih dari sekadar hidup. Manusia, justru karena ia sadar akan ketidaksempurnaannya, menjadi makhluk yang selalu terdorong untuk melampaui kenyataan.
Akan tetapi hari ini, mungkin masih banyak dari kita sebagai manusia, tidak menyadari panggilan ontologisnya. Tanpa kesadaran akan makna. Tanpa pertanyaan. Tanpa upaya melampaui. Tanpa refleksi. Tanpa ruang untuk bertanya.
Manusia yang hidup hanya untuk bertahan hidup. Bekerja hanya agar bisa makan. Makan agar bisa bekerja. Begitu sampai mati, tanpa pernah bertanya: Mengapa saya dilahirkan? Untuk apa saya hidup? Sebenarnya apa tujuan hidup saya?
Keadaan ini disebabkan bukan karena manusia seperti itu jahat, bodoh, atau tidak punya potensi menjadi manusia seutuhnya, melainkan karena dibungkam oleh struktur dan terperangkap dalam sistem yang menindas yang tak ia mengerti, tidak ia pilih, tidak ia pahami, dan tidak ia kuasai.
Pendidikan yang mematikan rasa ingin tahu. Pekerjaan yang hanya menjadikan manusia sebagai alat produksi. Budaya konsumsi yang mengalihkan perhatian dari penderitaan dan ketidakadilan.
Semua itu membentuk manusia yang hidup tetapi tidak mengada, yang bergerak tetapi tidak tahu ke mana dan untuk apa, yang hanya berputar dalam logika bertahan hidup, tanpa berkembang sebagai subjek yang bebas.
Inilah yang disebut ‘dehumanisasi’, yaitu ketika manusia dijauhkan dari kemanusiaannya. Paulo Freire menyebutnya sebagai hidup dalam keadaan ber-kebinatangan: saat manusia tidak lagi menjadi subjek yang sadar, tapi objek yang dikendalikan oleh sistem.
Dalam tulisan ini, penulis akan fokus mengelaborasi bagaimana bobroknya sistem pendidikan kita di Indonesia yang mestinya membebaskan, justru seringkali menjadi alat yang secara sistematis mendesain manusia untuk hidup tanpa kesadaran.
Pendidikan yang mestinya menyalakan pertanyaan justru memadamkannya; yang seharusnya membangkitkan harapan justru menjadikan manusia untuk tunduk dan bertahan dalam ketimpangan.
Pendidikan dengan logika gaya bank
Konsep ini diperkenalkan Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Pendidikan Kaum Tertindas’.
Menurut Freire, dalam pendidikan gaya bank guru dianggap ‘bankir’ yang menyimpan pusat pengetahuan dan pemilik kebenaran. Murid dianggap sebagai ‘tabungan’ kosong yang pasif menerima transfer pengetahuan, tapi tidak diberi cukup ruang untuk bertanya, berpikir, atau menafsirkan realitas hidupnya.
Akibatnya, sejak kecil, manusia dibiasakan menerima tanpa menggugat, mendengar tanpa menafsir, dan mengulang tanpa memahami. Kita terbiasa menghafal jawaban yang diberikan, bukan merumuskan pertanyaan dari kehidupan yang kita alami.
Pendidikan semacam ini tidak netral, tetapi mendesain manusia agar tidak berpikir jauh. Agar tidak menggugat sistem. Agar tidak merasa bahwa dirinya bisa mengubah dunia.
Pendidikan yang mengalienasi manusia dari lingkungan sekitarnya
Apa yang diajarkan di sekolah sering tidak berhubungan dengan realitas sehari-hari. Anak-anak petani tidak diajak memahami kenapa tanah ayahnya terus dirampas. Anak-anak buruh tidak diajak memahami kenapa upah murah dianggap normal.
Pendidikan memisahkan manusia dari dunianya, dan menggantikannya dengan bahasa teknis, istilah akademis, dan nilai-nilai kognitif yang menjauhkan mereka dari dunia nyata.
Akhirnya, manusia jadi tidak bisa membaca realitas tempat ia hidup. Ia tahu rumus matematika, tapi tidak tahu kenapa kampungnya digusur.
Ia hafal nama tokoh sejarah, tapi tidak tahu bahwa kemiskinan hari ini adalah warisan sejarah itu sendiri. Pendidikan hari ini sering tampil ‘netral’, padahal dalam diamnya ia sedang berpihak pada yang berkuasa.
Ia tidak membahas ketimpangan, tidak membahas struktur penindasan, tidak mengajarkan bahwa dunia ini bisa dan harus diubah. Pendidikan menjadikan ketidakadilan sebagai sesuatu yang wajar, bahkan dianggap ‘alamiah.’
Anak-anak yang lahir dalam kemiskinan diajarkan untuk ‘berusaha keras’ seolah kemiskinan itu kesalahan pribadi, bukan hasil dari sistem sosial yang menindas. Ini adalah bentuk penyesatan yang halus.
Inilah yang Freire sebut sebagai budaya diam, di mana rakyat kecil tidak lagi menggugat, karena sudah percaya bahwa mereka memang seharusnya diam.
Maka benarlah kalau kita katakan bahwa pendidikan hari ini sering kali tidak membebaskan, melainkan mendesain manusia untuk hidup dalam keterasingan.
Pendidikan menyiapkan tenaga kerja, bukan membentuk manusia
Sekolah menyiapkan manusia untuk menjadi pekerja yang patuh, bukan warga yang sadar. Dari kecil kita dilatih untuk datang tepat waktu, duduk rapi, mengikuti perintah, mengerjakan tugas tanpa banyak tanya, dihargai lewat nilai dan ranking, bukan pemahaman.
Semua itu tidak kebetulan. Itu adalah simulasi dari dunia kerja—tempat di mana kita akan masuk setelah lulus.
Sekolah bukan tempat menjadi manusia. Sekolah jadi tempat pelatihan agar siap masuk sistem yang lebih besar yaitu pasar kerja.
Ketika seseorang hanya diajari untuk kerja—bukan berpikir, bukan berjuang, bukan bermimpi—maka ia akan hidup dalam siklus ‘kerja-makan-hidup’.
Kita sepakat bahwa manusia itu bukan benda, bukan mesin, bukan objek yang tinggal diarahkan, maka pendidikan pun tidak bisa memperlakukan manusia seperti itu.
Manusia harus diposisikan sebagai subjek. Artinya, dia adalah pelaku utama dalam hidupnya sendiri. Karena itu, dua hal yang paling penting dalam pendidikan adalah dialog dan praksis.
Pertama, dialog. Dialog bukan hanya tukar kata, berdiskusi atau tanya-jawab di kelas. Sesungguhnya dialog adalah perjumpaan antar manusia yang saling mengakui satu sama lain sebagai sesama makhluk sadar.
Bukan ‘guru di atas dan murid di bawah’, melainkan sama-sama belajar dari pengalaman masing-masing.
Guru tetap punya peran membimbing, tapi juga harus mau mendengar. Selain itu, murid tidak hanya menerima, tapi aktif berpikir dan menyumbangkan pandangannya.
Tanpa dialog, pendidikan jadi satu arah. Guru menyuruh, murid patuh. Materi dicetak, murid hafal. Lalu selesai ujian, semua lupa.
Padahal, pendidikan sejati itu harus membuat orang jadi lebih sadar. Kesadaran itu hanya mungkin lahir kalau ada ruang untuk berpikir bersama—dan itu niscaya bisa terjadi lewat dialog.
Kedua, praksis. Ini yang juga sering dilupakan. Banyak orang belajar banyak hal, mengetahui banyak teori, tetapi tidak pernah benar-benar mengaitkannya dengan kenyataan hidupnya.
Sebaliknya praksis yaitu ketika kita berpikir sambil bertindak dan bertindak sambil berpikir. Misalnya, ketika seorang murid belajar soal keadilan, dia juga diajak untuk melihat ketidakadilan di sekitarnya, menganalisis, lalu bersama teman-temannya mencari cara meresponsnya.
Kalau pendidikan berhenti di ruang kelas, pengetahuan itu jadi mandul. Tidak punya daya ubah. Tidak relevan dengan hidup.
Tetapi kalau diajak berpikir sambil bergerak, itulah pengetahuan yang membebaskan. Namun itu bukan hanya soal ‘aksi sosial’ yang seremonial, melainkan benar-benar keterlibatan nyata, karena merasa ini hidup kita, dunia kita, dan kita punya tanggung jawab di dalamnya.
Makanya sering ada ungkapan, ‘pendidikan itu bukan soal jadi pintar di atas kertas, tapi soal jadi manusia yang sadar dan mau ambil bagian dalam memperbaiki hidup bersama. Itu hanya mungkin kalau pendidikan membangun dialog dan praksis.
Pendidikan sebagai proyek, bukan proses kesadaran
Seringkali, di masyarakat pedesaan, pendidikan justru datang dari luar sebagai ‘proyek’, bukan sebagai proses bersama.
Ahli dikirimkan, entah dari kota, lembaga, atau pemerintah, bukan untuk berdialog, tapi untuk mengajarkan, menjelaskan, bahkan mengoreksi cara hidup masyarakat.
Mereka datang seolah membawa kebenaran mutlak. Mereka lupa satu hal mendasar. Orang desa bukan bodoh. Mereka hanya hidup dalam konteks yang berbeda.
Banyak orang desa selama ini dianggap ‘tak berpengetahuan.’ Padahal mereka hidup di tengah pengetahuan—tentang tanah, musim, relasi sosial, bahkan ketidakadilan.
Tapi karena pengetahuan mereka tak pernah diangkat, tak pernah dikodifikasi, akhirnya mereka sendiri jadi merasa kecil, minder dan diam.
Saat kita kodifikasi realitas mereka—misalnya soal tanah yang menyempit, anak muda yang meninggalkan kampung, harga hasil panen yang ditentukan tengkulak mereka tak lagi merasa masalah hidup adalah ‘nasib’ tapi hasil dari struktur yang bisa diubah.
Dari sini muncul kesadaran politik, bahwa apa yang mereka alami bukan sekadar kebetulan, tapi bagian dari sistem. Dan saat mereka sadar, mereka bisa mulai mengorganisasi diri, bisa menyusun kekuatan, bisa menyusun aksi.
Tanpa proses ini, pendidikan di desa hanya jadi perpanjangan tangan negara atau LSM. Sekadar program pelatihan, seminar, penyuluhan, yang ujung-ujungnya lupa bahwa manusia desa juga punya kapasitas berpikir dan bermimpi.
Maka, kodifikasi dan dekodifikasi adalah ‘jembatan antara pengalaman hidup dan kesadaran transformatif.’ Bukan cuma belajar agar bisa ikut pasar, tapi belajar agar bisa mengubah hidup bersama.
Bahasa pemberdayaan sering kali manis di mulut, tapi tumpul dalam praksis, banyak program hari ini memakai kata-kata seperti ‘pemberdayaan masyarakat, ‘penguatan kapasitas’, atau ‘pendampingan partisipatif.’
Tapi apa benar rakyat diberdayakan? Atau malah sekadar dijadikan objek proyek yang harus ‘diperdaya’ agar menurut dan patuh?
Bahasa pemberdayaan sejati, bukan soal istilah teknis, tapi soal posisi dan relasi yang saling memberdayakan dan tumbuh bersama. Bahasa itu bukan alat netral. Dalam pendidikan pembebasan menurut Paulo Freire, bahasa adalah alat perjuangan.
Kalau kita memakai bahasa yang terlalu teknokratis, birokratis, atau akademik, maka rakyat akan merasa terasing, dan kita menciptakan jarak.
Bahasa pemberdayaan harus lahir dari kehidupan rakyat sendiri. Harus relevan dengan cara mereka memandang dunia. Harus bisa membuka percakapan, bukan menutupnya.
Pemberdayaan bukan berarti ‘menjadikan mereka seperti kita’, tapi membantu mereka mengenali kekuatan yang sudah mereka miliki, dan menggunakannya untuk menolak ketidakadilan.
Bukan mengajari rakyat berbicara, tapi membuka ruang agar suara mereka terdengar. Bukan memberi kuasa, tapi menghancurkan tembok yang selama ini merampas kuasa itu.
Bicara soal rakyat berdaya, tapi masih ingin jadi pengendali informasi, anggaran, dan arah gerak. Padahal, jika kita sungguh mau rakyat berdaya, kita harus rela: dicela, dipertanyakan, disingkirkan dari pusat kuasa.
Sering kali, bahasa pemberdayaan justru dipakai oleh mereka yang tak pernah benar-benar hidup di dalam ketidakberdayaan. Mereka datang dengan seragam rapi, modul pelatihan, dan istilah-istilah bagus, lalu berkata bahwa mereka ingin ‘memberdayakan rakyat’.
Sejatinya tak ada yang bisa memberdayakan orang lain. Yang ada hanyalah manusia yang memilih untuk berjuang bersama, membebaskan bersama.
Karena pemberdayaan sejati bukan proyek, tapi proses kesadaran. Ia bukan hasil dari pelatihan satu hari, tapi dari relasi yang setara, terus-menerus, dan saling menghidupkan.
Editor: Timotius D. Ngara






























