Oleh:
Suryadi
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta
Di tengah hiruk-pikuk pesta demokrasi, kita seringkali lupa bahwa suara rakyat bukan hanya sekadar angka, tetapi ekspresi harapan akan perubahan.
Namun yang kerap terjadi justru sebaliknya, ruang politik dipenuhi oleh mereka yang berlomba memperbesar citra, bukan memperjuangkan cita cita.
Di sinilah letak persoalan mendasarnya, ketika keputusan politik dan perilaku memilih lebih digerakkan oleh ego personal dan ambisi kekuasaan, daripada oleh rasionalitas publik dan kepentingan bersama. Fenomena ini bukan lagi hal baru.
Namun yang mengkhawatirkan adalah bagaimana masyarakat mulai menerima itu sebagai hal yang wajar. Kita mulai menormalisasi sesuatu yang sebenarnya tidak normal yaitu egoisme dalam politik.
Politik Identitas dan Retorika Ambisius
Politik hari ini sering kali tampil bukan sebagai medan perjuangan ide dan gagasan, melainkan sebagai panggung kompetisi citra dan klaim kosong.
Di berbagai level kontestasi politik, para figur dengan retorika paling keras dan ambisius justru mendapat tempat, bahkan dianggap sebagai ‘pemimpin potensial.’
Kemenangan dalam politik bukan lagi tentang siapa yang punya visi transformatif, tetapi siapa yang paling viral, paling agresif, dan paling mampu mencitrakan diri sebagai penyelamat bahkan penentu.
Kondisi ini diperparah oleh praktik politik identitas, di mana afiliasi suku, agama, atau jaringan emosional menjadi faktor penentu dalam perilaku memilih.
Dalam konteks ini, masyarakat tak lagi memilih berdasarkan kinerja atau kapasitas, tetapi berdasarkan ‘kedekatan’ simbolik. Akibatnya, politik tak lagi rasional, melainkan sentimental.
Krisis Representasi dan Hilangnya Etika Publik
Fenomena ini menimbulkan apa yang oleh para ilmuwan politik dan secara kuat dikemukakan oleh Peter Mair dalam bukunya Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy disebut sebagai krisis representasi.
Ketika mereka yang terpilih lebih sibuk mengonsolidasikan kekuasaan daripada mewakili suara konstituen, maka demokrasi menjadi kosong dari makna substantif.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Mouffe bahwa demokrasi tidak cukup hanya prosedural, tetapi harus juga mencerminkan pluralisme dan etika deliberatif (Mouffe, 2000).
Celakanya, masyarakat perlahan terbiasa dengan realitas ini. Kita tidak lagi mempertanyakan ketika wakil rakyat absen dari ruang aspirasi, asalkan tetap tampil ‘baik’ di media sosial.
Kita tidak menggugat keputusan politis yang merugikan publik, asalkan ada narasi pembangunan yang terus diproduksi.
Inilah yang disebutkan dengan ‘normalisasi ketidaknormalan’, ketika sikap permisif terhadap kebobrokan politik menjadi budaya baru yang diwariskan.
Butuh Kesadaran Kritis
Kita sedang berada di titik di mana demokrasi membutuhkan lebih dari sekadar partisipasi. Ia membutuhkan kesadaran kritis.
Demokrasi tanpa etika dan rasionalitas publik akan melahirkan politik yang disfungsional, dan pada akhirnya menggerogoti legitimasi itu sendiri.
Masyarakat harus kembali berani berkata tidak semua ambisi adalah visi, tidak semua klaim adalah kebenaran. Ke depan, perlu ada revitalisasi ruang politik sebagai ruang dialog, bukan arena pertarungan ego.
Pendidikan politik publik harus lebih progresif, bukan hanya berhenti pada ajakan memilih, tapi juga membangun nalar kritis terhadap siapa yang dipilih dan untuk apa kekuasaan digunakan.
Demokrasi yang sehat bukan ditandai dengan jumlah kandidat yang banyak, tetapi dengan kualitas pilihan yang didasarkan pada integritas, kapasitas, dan komitmen terhadap kepentingan bersama.
Jika kita terus menoleransi egoisme politik, maka cepat atau lambat, demokrasi tidak lagi menjadi sistem yang merepresentasikan rakyat, melainkan menjadi instrumen bagi segelintir orang yang pandai membungkus ambisi pribadi sebagai kehendak publik.






























