OPINI: May Day, Bahaya Kapitalisme dan Pentingnya Serikat Pekerja

5
71
James Roberto A. Makatutu/Foto: Dok. pribadi

Oleh:

James Roberto A. Makatutu

Komisaris Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK-GMNI) Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta Periode 2024/2025

May Day, atau yang dikenal juga sebagai Hari Buruh, adalah perayaan yang memiliki sejarah panjang dan signifikansi yang mendalam bagi gerakan buruh di seluruh dunia.

May Day memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjuangan buruh untuk memperoleh hak-hak yang adil di tempat kerja.

Perayaan ini berasal dari peristiwa Haymarket Massacre pada 1 Mei 1886, ketika para buruh di Chicago berunjuk rasa untuk menuntut kerja delapan jam sehari.

Sayangnya, unjuk rasa ini berujung tragis ketika terjadi bentrokan antara polisi dan demonstran yang mengakibatkan kematian dan luka-luka.

May Day selama ini menjadi simbol perjuangan buruh di seluruh dunia dan mengingatkan kita akan pentingnya hak-hak pekerja.

Perayaan ini juga menyoroti ketimpangan sosial, perlunya perlindungan bagi pekerja, dan pentingnya solidaritas antarsesama.

Perayaan May Day sering kali disertai dengan aksi unjuk rasa, mogok kerja, dan kegiatan lainnya.

Ini menjadi momentum tahunan bagi para pekerja dan aktivis untuk bersatu dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi.

Namun, bagi penulis May Day tidak seharusnya hanya menjadi sebuah simbol bagi perjuangan buruh sedunia.

Meminjam ide post-modernis, hal yang paling penting adalah makna, bukanlah hanya sekedar simbol.

Jika May Day hanya dijadikan semacam simbol tahunan, maka kondisi-kondisi material buruh berupa eksploitasi (pengisapan) dan alienasi tidak akan pernah dituntaskan.

Dalam tulisan ini penulis bermaksud menggali makna dari May Day, untuk menunjukkan dan mengingatkan kembali apa yang patut kita perjuangkan dan lawan bersama. 

May Day dan Bahaya Tersembunyi Kapitalisme

Di era post-modern, perayaan May Day tetap relevan meskipun dalam konteks yang berbeda.

Perjuangan untuk hak-hak buruh terus berlanjut, baik dalam hal upah yang layak, kondisi kerja yang aman, maupun perlindungan terhadap pekerja migran.

Di tengah peringatan yang bersifat setahun sekali, May Day berhenti sebatas pada perjuangan hak-hak buruh. Penulis berargumen bahwa makna May Day tidak boleh berhenti di sini. Kita perlu kembali menyadari bahwa musuh utama buruh adalah kapitalisme.

Sistem kapitalisme adalah masalah yang bukan hanya terkait ketidakadilan dalam distribusi akses pekerjaan yang lebih baik, stabil, permanen dan berbayar melainkan menyebabkan keterbatasan dalam memilih bagaimana kita bekerja.

Di tempat kerja, kita tunduk pada kontrol orang lain. Meskipun tunduk pada kekuasaan orang lain tidak selalu buruk, namun cara kontrol ini dilaksanakan dalam konteks ketidakberdayaan relatif pekerja dan dapat sangat merugikan.

Kurangnya kebebasan di tempat kerja adalah produk dari kondisi rancangan sistem kapitalisme. 

Dalam sistem kapitalisme, buruh disebut ‘bebas’ untuk menjual tenaga kerja mereka. Namun pada kenyataannya, buruh diatur melalui upah dan pasar.

Kedua hal ini ‘mengikat leher’ buruh untuk memenuhi kebutuhan sub-sistem berupa menyewa tempat tinggal sementara atau membeli rumah, membeli makanan, membayar untuk layanan kesehatan maupun pendidikan.

Terkadang, negara hanya muncul dengan menggunakan kata manis ‘perlindungan sosial’ ataupun ‘perlindungan hak pekerja’.

Padahal ini hanya sebuah motif yang digunakan sistem kapitalisme untuk mereproduksi tenaga kerja dan memastikan buruh tetap terus bekerja setiap hari.

Karl Marx, pada inti kritiknya, dapat ditemukan suatu harapan putus asa untuk mentransformasi kerja.

Menurutnya, manusia mengekspresikan diri dan menciptakan dunia melalui kegiatan kreatif dan kolektif.

Kecondongan alami ini menjadi sesuatu yang tidak dikenali dalam pekerjaan pada sistem kapitalisme.

Marx tidak hanya berpikir bahwa pekerjaan di sekitarnya buruk karena berlangsung dalam kondisi yang tidak sesuai dan berbahaya atau karena upah rendah dan jam kerja yang panjang. Masalah kerja adalah masalah fundamental.

Dalam sistem kapitalisme, kerja mengubah sesuatu yang manusiawi menjadi sesuatu yang mengerikan.

Kekuatan modal membuat kapitalis menjadi rakus, menghabiskan semua yang tersedia serta mengisap darah kehidupan masyarakat itu sendiri.

Marx ingin menjelaskan bahwa kerja di bawah sistem kapitalisme membuat kita merasa terkoyak-koyak, dihinakan dan terlalu lelah untuk melakukan apa pun selain memenuhi kebutuhan paling dasar. 

Mengingat bahwa, dalam kapitalisme, pekerjaan menjadi satu-satunya jalan untuk pengembangan diri, mendapatkan penghargaan dan pemenuhan kebutuhan. Kita dipaksa untuk takluk di bawah bayang-bayangnya.

Di sisi lain, jika kita tidak melawan maka yang muncul adalah ketakutan yang nyata akan kehilangan diri yang teralienasi.

Namun, fitur utama kapitalisme berupa pasar dan upah buruh merupakan pembatasan dari kemungkinan kehidupan kita.

Kita tidak bisa mendapatkan kembali kehidupan kita tanpa mengubah secara radikal fondasi-fondasi masyarakat itu sendiri. 

Menggalang Persatuan

Buruh secara jumlah merupakan kelas terbesar dalam masyarakat, tetapi sebagai individu, mereka terisolasi dan teratomisasi.

Secara teori, perlu upaya untuk membawa mereka berjuang bersama ke dalam massa yang besar dengan membentuk serikat pekerja.

Hal ini dimaksudkan untuk membuat mereka lebih kuat daripada jika mereka hanya berjuang sendirian. Sekurang-kurangnya terdapat dua tujuan terbentuknya serikat pekerja.

Tujuan pertama adalah peningkatan kondisi urgen di tempat kerja. Hal ini mungkin berupa meningkatkan upah atau kondisi material buruh, mulai dari fasilitas ruang istirahat hingga cuti orang tua.

Serikat buruh juga berperan menanggapi peristiwa-peristiwa di tempat kerja seperti pengenalan kontrak baru, kecelakaan kerja ataupun pemecatan rekan kerja secara sepihak.

Serikat buruh di berbagai wilayah dan sektor mungkin saja telah memenangkan berbagai macam perlindungan hukum dan manfaat bagi buruh berupa bayaran sakit, cuti tahunan berbayar, batas pada hari kerja maksimum, cuti orang tua yang dibayar, melawan pemutusan hubungan kerja yang tidak adil dan pelanggaran kontrak.

Namun, kemenangan-kemenangan ini tetap rapuh, dengan serangan tanpa henti terhadap kemampuan serikat buruh untuk mengorganisasi, dibayangi arus neoliberalisme.

Tujuan kedua merupakan tujuan yang utama yakni pendekatan yang ditekankan oleh Marx dan Engels yaitu ‘basis massa yang terus berkembang’, membawa lebih banyak buruh ke dalam serikat, meningkatkan kesadaran politik buruh, dan membangun kekuatan kolektif buruh. Tujuan ini bergantung pada jumlah populasi anggota serikat buruh.

Ambisi utama dari tujuan kedua ini adalah memenangkan kekuasaan yang lebih besar dan representasi politik bagi kelas pekerja di suatu wilayah, negara dan secara global.

Hal inilah yang seharusnya menjadi makna sejati May Day, seperti yang telah ditekankan sebelumnya.

Gempuran kapitalisme terus berevolusi salah satunya melalui kerja semu dari yang kita sebut ‘ekonomi digital’. Ini membuat tantangan yang dihadapi perjuangan buruh bahkan lebih kompleks.

Melalui May Day, kita seharusnya menyadari bahwa maknanya adalah ‘perjuangan perlawanan terhadap kapitalisme’.

Editor: Vansianus Masir