
TEROPONG—Keberanian menentukan sikap atas dasar nilai kebaikan semestinya dimiliki mahasiswa.
Sikap yang dimaksud bukan sekadar pengertian attitude (sikap) yang lazim, seperti sopan santun dan sebagainya, melainkan sikap yang berkaitan dengan kehendak.
Sutoro Eko Yunanto, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta mengatakan, dalam teori psikologi pendidikan, secara linear melihat bahwa orang yang memiliki kemampuan kognisi yang bagus akan memiliki sikap (afeksi) yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berpengetahuan terbatas.
Namun, kata dia, ‘teori linear’ adalah ‘teori kolonial’ yang selama ini membentuk cara berpikir bahkan sudah kita yakini.
“Padahal hidup tidak pernah linear atau lurus-lurus. Ada orang yang memiliki banyak pengetahuan tapi tidak punya kehendak. Ada juga yang pengetahuannya terbatas, tetapi memiliki sikap yang jelas,” katanya pada kegiatan pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke-57 dengan tema: Bergaul, Belajar, Bekerja, Berdesa.
Sutoro mencontohkan pengetahuan linear misalnya tampak dalam anggapan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) kita rendah.
“Itu argumen orang berpikiran kolonial. ‘Orang Jakarta’ melihat bahwa orang lokal, desa dan udik itu bodoh, malas, suka mencuri dan suka berbohong,” kata dia.
Dengan cara pandang seperti itu, solusi yang selalu ditawarkan sebagai jalan keluar adalah pendidikan. Segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan pendidikan.
Sutoro menyebutnya sebagai ‘fasisme pendidikan.’ Pendidikan dan kesehatan, kata dia, adalah pelayanan dasar (basic services) yang sering kali negara tidak mengurusnya dengan baik.
Namun, selain pelayanan dasar, hal yang paling penting namun sering dilupakan adalah essential services (kebutuhan dasar).
“Tidak setiap saat orang membutuhkan pendidikan. Namun yang pasti, setiap saat orang membutuhkan penghidupan, butuh makan atau essential services (kebutuhan dasar),” ungkapnya. Kebutuhan dasar setiap manusia, lanjutnya, adalah air, pangan dan energi.
Menurut Sutoro, di tempat KKN mahasiswa akan berhadapan dengan persoalan struktural yang selama ini terjadi di desa.
Desa dimobilisasi dan diperintah-perintah oleh pemerintah pusat untuk menggiatkan pelayanan dasar (basic services) seperti pendidikan dan kesehatan dan mengurus program lintas sektoral yang dibebankan pada desa seperti program pengurangan stunting dan pendataan penduduk.
Berhadapan dengan struktur semacam itu, Sutoro mengatakan bahwa mahasiswa harus berani bersikap kepada kepala desa jika diperintah mengurus isu stunting.
“Melayani itu penting, tapi harus bersikap. Kalau tidak punya sikap, kita hanya menjadi pesuruh dan diperalat serta menjadi bagian dari struktur pembodohan,” ungkapnya.
Lima Sifat
Sutoro mengatakan, terdapat lima sifat dari sikap, yaitu pragmatis, oportunis, formalis, idealis, dan realis.
Pertama, sikap pragmatis. Ia mengungkapkan sikap pragmatis adalah sikap yang buruk dan merupakan sikap yang paling rendah. Orang Pragmatis, kata dia, mengerjakan yang paling gampang dikerjakan.
Kedua, sikap oportunis yaitu penyakit yang terjadi di banyak tempat. “Di mana-mana selalu ada orang oportunis,” kata dia. Sikap oportunis, lanjut dia, hanya ingin menikmati hasil tapi tidak mau berjuang.
Selain itu, tambahnya, orang oportunis adalah ‘penumpang gelap’ atau free rider yang hanya melakukan sesuatu jika menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Ketiga, sikap formalis yang bekerja sesuai aturan. Menurutnya, orang formalis paling tidak menarik karena kreatifitas dan gagasan tidak berkembang sebab dibatasi dengan penerapan aturan hukum yang rigid dan ketat.
Keempat, sikap idealis yaitu ‘apa yang sebaiknya’ dilakukan. Sering kali, kata dia, terjadi benturan antara orang idealis dengan orang pragmatis. Kelima, sikap realis.
Sutoro mengungkapkan, bersikap realis berarti mengerjakan ‘apa yang mungkin’ dilakukan.
Bagi dia, dalam berpikir, kita harus idealis namun bersikap realis dalam bertindak dan sedapat mungkin menghindari sikap pragmatis dan oportunis.
Pada kesempatan itu, Sutoro juga menjelaskan bahwa sikap seseorang dibentuk oleh beberapa hal. Ada orang membentuk sikapnya berdasarkan moral.
Namun, kata dia, bermoral saja tidak cukup karena ‘moral hanya berguna sebagai alat kontrol diri’ seperti bersikap rendah hati, sopan santun dan sebagainya.
Sikap juga bisa dibentuk berdasarkan nalar atau logika. Menjadi bermasalah, kata dia, ketika sikap dibentuk hanya dengan nalar, maka segala persoalan dilihat karena ‘kurangnya kapasitas’ atau kemampuan, seakan-akan orang lain tidak mampu.
Selain itu, sikap juga dibentuk berdasarkan norma. Orang yang sikapnya dibentuk berdasarkan norma cenderung melakukan sesuatu sesuai prosedur, regulasi atau aturan.
Mereka akan mengatakan, ‘pokoknya aturannya begini, aturannya begitu’ dan tidak membuka ruang negosiasi dan dialektika gagasan, kata Sutoro.
Sutoro menambahkan, sikap seharusnya dibentuk berdasarkan nilai (value) kedaulatan, keadilan dan kemakmuran untuk orang banyak.
Nilai ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dan bukan moral, nalar atau norma.
Orang yang bermoral baik, ungkap dia, belum tentu membawa kebaikan bagi orang banyak, tetapi orang yang bermoral buruk seperti ugal-ugalan dan berbohong, sudah pasti mendatangkan keburukan bagi orang banyak.
Spirit Sarjana Rakyat
Sutoro mengatakan, sikap mahasiswa terbentuk melalui ‘ilmu buku’ dan ‘ilmu guru’ dan KKN sangat penting untuk mempertebal ‘ilmu laku’ atau pengabdian.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan spirit ‘Sarjana Rakyat’ yang menjadi tagline Kampus STPMD ‘APMD’ yaitu ‘Membentuk Sarjana Rakyat.’
Sarjana rakyat, ungkapnya, adalah sarjana yang didasarkan pada nilai, bukan semata-mata berilmu dan bernalar.
Sarjana rakyat digerakkan oleh semangat ilmu amaliah, yaitu ilmu yang mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi banyak orang, bukan ilmu ilmiah.
“Ilmu imiah adalah ilmu yang absurd, jauh dari rakyat dan dekat dengan tengkulak,” katanya.
Sutoro mengungkapkan, selama ini, masih ada mahasiswa yang menjalin pergaulan berdasarkan parokialisme atau social bonding, yaitu ikatan sosial berdasarkan unsur bawaan, entah daerah, agama maupun suku.
Karena itu, KKN menjadi kesempatan untuk memperluas pergaulan, kata dia.
Selain itu, kata dia, KKN juga menjadi kesempatan untuk belajar. Ia mengungkapkan, belajar berarti menyelami dan memahami realitas yang akan membentuk sikap realis mahasiswa.
“Prinsipnya semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah,” katanya.
Sutoro mengungkapkan, program seperti ‘literasi desa’ yang dilaksanakan dalam KKN semestinya menumbuhkan subjek-subjek di desa, termasuk anak-anak supaya mengenal dirinya sendiri dengan belajar bercerita, berdiskusi, berdiplomasi dan berpidato.
Bagi Sutoro, kekurangan bangsa Indonesia adalah kemampuan melihat dirinya sendiri, sehingga tidak pernah menjadi subjek yang merdeka dan berdaulat.
Ia menambahkan, KKN ibarat ‘menabur benih’ agar desa bertumbuh dan berkembang menjadi arena hidup, kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat.
Adapun KKN kali ini diikuti 188 mahasiswa STPMD ‘APMD’ dari empat Program Studi: Pembangunan Masyarakat Desa (D3), Ilmu Komunikasi (S-1), Pembangunan Sosial (S-1) dan Ilmu Pemerintahan (S-1).
Mahasiswa dibagi ke dalam 22 kelompok dan tersebar di tiga tempat yakni Kalurahan Guwosari, Kalurahan Triwidadi dan Kalurahan Wijirejo.
Kegiatan yang diselenggarakan Unit Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) tersebut berlangsung di Aula Kampus STPMD ‘APMD’ Yogyakarta pada Selasa (23/7/2024).





























