TEROPONG—Saya menempuh perjalanan cukup jauh dari Semarang, Jawa Tengah menuju Jakarta. Sebagai mahasiswa asli Batak , hati saya tergerak untuk hadir langsung diskusi publik bertajuk “Menatap Masa Depan Danau Toba” yang berlangsung di Ruang Seminar AB Gedung Lantai 3 Universitas Kristen Indonesia (UKI) pada 13 Juni.
Bagi saya, Danau Toba bukan sekadar objek wisata, melainkan karunia Tuhan yang kaya akan nilai sejarah, budaya dan potensi ekonomi yang luar biasa. Karena itu, ketika diskusi ini membicarakan masa depan Danau Toba, saya merasa perlu untuk terlibat.
Diskusi ini membahas ikhtiar pengembangan pariwisata Danau Toba berikut tantangan dalam peningkatan ekonomi, strategi inovasi, sinergitas berbagai pihak serta regulasi yang sehat dan proporsional.
Diselenggarakan Ikatan Mahasiswa/i Batak Nasional berkolaborasi dengan Fakultas Hukum UKI dan Lentera Sahabat Indonesia, diskusi ini menghadirkan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, Hulman Panjaitan, Wakil Rektor UKI dan Jimmy Bernando Panjaitan, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) sebagai pembicara.
BPODT merupakan sebuah lembaga yang punya fungsi otoritatif dan koordinatif dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata Danau Toba di 8 Kabupaten di Sumatera Utara yang ditetapkan pemerintah era Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016.
Selain itu, dengan klaim sebagai upaya pemerataan destinasi pariwisata nasional, pada tahun 2019 pemerintahan Jokowi menetapkan Danau Toba sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas Nasional (DPSPN) bersama dengan Pariwisata Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB), Likupang (Sulawesi Utara) dan Borobudur (Jawa Tengah).
Dalam pemaparannya, Lamhot Sinaga menekankan, pariwisata berperan penting sebagai penggerak perekonomian nasional, serta memperkuat posisi Indonesia dalam perang dagang (trade-war).
Ia menampilkan data pada tahun 2019, sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar 20 milir dolar AS, mengungguli sektor migas dan non-migas.
Sementara itu pada tahun 2024, sektor pariwisata berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 4,01 hingga 4,5 persen.
Data ini, kata dia, menunjukkan bahwa pariwisata bukan hanya sektor pelengkap, melainkan sektor strategis bagi pendapatan negara.
Senada dengan itu, Jimmy Panjaitan membahas master plan pengembangan kawasan wisata Toba Caldera Resort yang dirancang BPODT, dengan menekankan prinsip eco-tourism yang mengintegrasikan tiga hal.
Pertama, destinasi wisata alam yang memanfaatkan daya tarik warisan geologi dunia, kedua, destinasi wisata budaya dengan memperkenalkan nilai-nilai dan keluhuran budaya Batak serta wisata rekreasi dengan menyajikan resort tenang di tepi danau dengan pemandangan alam yang indah dan ajaib, kata dia.
Jimmy menyampaikan, BPODT berkomitmen terhadap standar internasional seperti green globe dan zero waste, agar pembangunan tetap memperhatikan kelestarian alam Danau Toba, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi.
BPODT juga menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) dengan mengacu pada target proporsi RTH yang ideal sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan sekitar Danau Toba.
Dari sisi peningkatan perekonomian, lanjut dia, BPODT mencanangkan lebih dari 30.000 tenaga kerja di sektor pariwisata serta target investasi mencapai Rp26 triliun dan 22.000 pengunjung per hari.
Ia menambahkan, BPODT berkolaborasi dengan berbagai pihak melakukan promosi wisata Danau Toba melalui pemutaran film, salah satunya film yang ditayangkan di Bioskop XXI dengan penonton mencapai 65.000.
Menyadari penggunaan teknologi sangat berdampak bagi pariwisata Danau Toba, BPODT juga menyediakan platform digital dan penerapan e-ticketing untuk layanan jasa kapal feri untuk efisiensi dan memangkas antrian yang panjang.
Sementara itu, Hulman Panjaitan mengatakan, Danau Toba memiliki kekayaan budaya dan pemandangan alam yang eksotis yang dapat dikembangkan, seperti Air Terjun Efrata, Pusuk Buhit, gunung yang dianggap sakral dalam mitologi Batak Toba dan dipercaya sebagai tempat lahirnya Raja Batak, hingga bukit Indah Simarjarunjung.
Menurutnya, perguruan tinggi memiliki andil besar dalam pengembangan Danau Toba melalui KKN Tematik, mendorong integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam kurikulum, melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan terlibat dalam program Kampus Berdampak.
Saya sangat sepakat dengan apa yang beliau sampaikan, sebab kampus memang sudah semestinya berkontribusi nyata bagi pencerahan dan transformasi sosial di sekitarnya, bukan diam dalam menara gading ilmu pengetahuan.
Diskusi publik seperti ini lebih dari sekadar forum ilmiah, tapi momentum penguatan kesadaran kolektif bahwa untuk menjaga dan memajukan Danau Toba adalah tanggung jawab bersama.
Karena itu, saya berharap diskusi semacam ini tidak berhenti di UKI saja, tetapi juga menjangkau kampus-kampus lainnya.
Sebagai penutup, saya mengajak diaspora Batak terutama mahasiswa yang berada di Semarang bahkan di seluruh Indonesia agar ikut berpartisipasi mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba.
Mulai dari langkah kecil dan sederhana, seperti menceritakan keindahan Danau Toba kepada teman-teman kampus. Siapa tahu, cerita itu menggugah mereka untuk berwisata ke sana.
Dengan begitu, kita turut berperan melakukan promosi dan membagikan karunia Tuhan yaitu keindahan Danau Toba kepada seluruh dunia.
Laporan ini ditulis Jansen Henry Kurniawan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Editor: Timotius Depa Ngara






























