REFLEKSI: Ketika Kebebasan Bersuara Masih Dibungkam, Kita Belum Sepenuhnya Merdeka

3
50
Foto: Andreas Chandra/Dok. pribadi
Foto: Andreas Chandra/Dok. pribadi

Oleh:

Andreas Chandra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Di setiap lembar sejarah, kebebasan berbicara selalu menjadi barometer sejauh mana sebuah bangsa benar-benar merdeka.

Sebab, bagaimana mungkin kita mengaku bebas jika lidah kita dipaksa kelu, jika pikiran kita dibatasi pagar-pagar ketakutan?

Kemerdekaan bukan sekadar soal terlepas dari penjajah bersenjata, melainkan juga terbebas dari belenggu ketidakadilan, ketakutan, dan pembungkaman.

Saat seseorang dilarang menyampaikan pikirannya, saat kritik dianggap ancaman, saat suara-suara yang berseberangan dibungkam dengan berbagai cara, di saat itulah kemerdekaan menemui ajalnya.

Kita sering mendengar bahwa kebebasan berbicara harus memiliki batas, bahwa ada hal-hal yang tak boleh dikatakan dengan sembarangan.

Tentu, kebebasan bukan berarti anarki. Namun, batas itu tidak boleh ditentukan oleh mereka yang ingin berkuasa lebih lama, tidak boleh ditentukan oleh mereka yang alergi terhadap kritik.

Batas itu seharusnya dibuat demi melindungi hak orang lain, bukan sebagai tameng bagi mereka yang takut dipertanyakan pertanggungjawabannya.

Sejarah dunia telah berkali-kali menunjukkan, ketika kebebasan berbicara dibungkam, kehancuran sebuah bangsa hanyalah soal waktu.

Negara-negara yang berkembang pesat adalah yang membiarkan rakyatnya berbicara, berpikir, dan mengkritik dengan bebas.

Sebaliknya, negara-negara yang stagnan dan bahkan hancur adalah yang menindas perbedaan pendapat.

Namun, apa yang kita lihat hari ini? Kritik semakin dianggap sebagai ancaman.

Mereka yang berbicara lantang mulai dihantui ketakutan. Para pemikir yang menyuarakan keresahan justru diperlakukan sebagai musuh negara.

Orang-orang yang mencintai negeri ini dengan keberaniannya mengungkapkan kebenaran malah dicap sebagai pengganggu stabilitas.

Apakah kita lupa bahwa kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun itu diperjuangkan oleh mereka yang tak takut bersuara?

Apakah kita lupa bahwa para pendiri bangsa ini adalah mereka yang menolak tunduk pada ketidakadilan? Jika para pejuang dulu bungkam karena takut, akankah kita menikmati kebebasan seperti sekarang?

Jika lidah-lidah terus dikekang, jika pena-pena terus dipatahkan, jika suara-suara terus dibungkam, maka kemerdekaan itu tak lebih dari sekadar perayaan seremonial.

Kita hanya akan menjadi bangsa yang diam, yang takut berbicara, dan perlahan, kita akan kehilangan daya pikir kritis yang membuat kita benar-benar hidup.

Maka, saat kebebasan berbicara mulai dibungkam, saat itu pula kita harus bertanya: apakah kita masih merdeka? Ataukah itu hanya ilusi yang tertipu oleh retorika?