OPINI: Antonio Gramsci dalam Dunning Kruger Effect

3
114
Igit Handono Aji/Foto: Dok. pribadi

Oleh:

Igit Handono Aji

Anggota LPM TEROPONG

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang begitu percaya diri terhadap pengetahuan atau kemampuannya, padahal sebenarnya masih sangat terbatas.

Fenomena ini dikenal sebagai Dunning-Kruger Effect, yaitu kondisi psikologis di mana individu yang kurang kompeten justru cenderung melebih-lebihkan kemampuannya.

Mereka kesulitan menyadari kelemahan diri sendiri karena kurangnya metakognisi, kemampuan untuk menilai dan mengevaluasi diri secara objektif.

Fenomena ini bukan sekadar masalah psikologis semata. Jika dianalisis lebih dalam menggunakan teori intelektual dan hegemoni dari Antonio Gramsci, kita bisa melihat bahwa ilusi kompetensi ini juga merupakan produk dari struktur sosial dan budaya yang membentuk cara berpikir individu.

Ilusi Kompetensi dan Pseudo Intelektualisme

Secara umum, Dunning-Kruger Effect menggambarkan bagaimana individu yang minim kemampuan justru sering kali merasa lebih tahu dibandingkan orang yang benar-benar ahli.

Mereka menolak kritik, merasa paling benar, dan cenderung membangun argumen tanpa dasar yang kuat.

Kurangnya kesadaran akan keterbatasan diri membuat mereka sulit untuk berkembang atau menerima masukan dari luar.

Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis dari Italia, membagi peran intelektual ke dalam dua kategori: intelektual tradisional dan intelektual organik.

Intelektual tradisional adalah mereka yang cenderung hidup dalam dunia gagasan yang abstrak, terpisah dari realitas sosial.

Sementara intelektual organik adalah mereka yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat, menggunakan pengetahuannya untuk mendorong kesadaran dan perubahan sosial.

Intelektual sejati, menurut Gramsci, bukanlah mereka yang merasa paling tahu, melainkan mereka yang mampu merefleksikan posisi dan tanggung jawab sosialnya secara kritis.

Mereka senantiasa terbuka terhadap pembelajaran, kritik, dan realitas sosial yang terus berubah.

Jika kita mengaitkan Dunning-Kruger Effect dengan tipologi intelektual Gramsci, maka individu yang terjebak dalam efek ini lebih dekat dengan apa yang bisa disebut sebagai pseudo-intelektual: mereka tampak seperti ‘tahu segalanya’, namun tidak pernah benar-benar membumikan pengetahuan mereka dalam kehidupan nyata.

Bahkan bisa jadi mereka hanya mengetahui sepotong-sepotong mengenai sepotong-sepotong. Mereka menolak koreksi dan cenderung mempertahankan status quo karena merasa diri sudah cukup.

Di sisi lain, intelektual organik justru menyadari bahwa semakin luas ilmu yang dipelajari, semakin besar kesadaran akan keterbatasan diri. Intelektual organik menggunakan ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk.

Hegemoni Subjektif

Selain itu, konsep hegemoni dari Gramsci bisa membantu menjelaskan mengapa ilusi kompetensi dalam Dunning-Kruger Effect begitu mengakar.

Hegemoni bukan sekadar penguasaan fisik, melainkan dominasi nilai, ide, dan budaya yang diterima sebagai kebenaran umum dalam masyarakat. Ide-ide dominan ini disebarluaskan oleh kelompok yang memiliki kuasa budaya dan politik, termasuk melalui para intelektual organik.

Dalam konteks ini, banyak individu yang merasa ‘paling tahu’ sebenarnya sedang menginternalisasi nilai-nilai hegemonik yang dibentuk oleh sistem sosial tertentu.

Mereka tidak sepenuhnya menyadari bahwa keyakinan atas superioritas dirinya adalah hasil dari konstruksi budaya—bukan kemampuan yang objektif.

Ini menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai bentuk ‘hegemoni subjektif’, yaitu dominasi ide dalam diri individu yang meyakini ilusi kompetensinya tanpa refleksi kritis.

Keluar dari Jebakan Ilusi Kompetensi

Dunning-Kruger Effect bukan sekadar persoalan kejiwaan individu, melainkan juga cerminan dari struktur sosial yang tidak mendorong refleksi diri dan kritik konstruktif.

Dominasi nilai dalam masyarakat baik melalui media, pendidikan, atau lingkungan sosial, sering kali membentuk individu yang merasa cukup tahu tanpa pernah diuji dalam praksis sosial yang nyata.

Dengan menggunakan lensa teori Gramsci, kita bisa melihat bahwa jalan keluar dari ilusi ini bukan sekadar meningkatkan pengetahuan, tetapi juga membangun kesadaran kritis dan kerendahan hati sebagai dasar menjadi intelektual organik.

Individu yang mampu mengakui keterbatasan diri dan membuka diri terhadap kritiklah yang mampu berkontribusi dalam transformasi sosial yang sejati.

Editor: David Kurniawan