Oleh:
Andreas Chandra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pekerja di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan keadilan. Mereka kerap diperlakukan dengan semena-mena seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, upah murah, jam kerja yang eksploitatif, dan kebijakan yang condong ke pemilik modal.
Padahal, para pekerja atau kaum buruh memegang peranan penting sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Bisa kita bayangkan situasi dan kondisi negara ini tanpa kaum pekerja: industri tak berdetak, pembangunan mandek, pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai.
Nasib para pekerja yang kerap diabaikan mencerminkan negara absen dalam memberikan perlindungan dan mendengar suara mereka. Mirisnya, semua itu terjadi dalam bayang-bayang konstitusi yang sebetulnya sudah mengatur jaminan hukum bagi hak para pekerja.
Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Selain itu, Pasal 28D ayat (2) juga menegaskan, “setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Tak hanya itu. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah merinci hak-hak pekerja: upah layak, jaminan sosial, kebebasan berserikat, hingga hak atas keselamatan kerja.
Sebagai anggota Organisasi Buruh Internasional, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak tenaga kerja. Sebut saja di antaranya: Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Secara Kolektif; Konvensi ILO No. 29 dan No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa; serta Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Masuk ke Dunia Kerja.
Akan tetapi, bagi banyak buruh, berbagai regulasi tersebut hanya indah di atas kertas tetapi kejam dalam kenyataan, apalagi bagi mereka yang bekerja di sektor informal.
Para pekerja sektor formal saja yang menjadi penopang perekonomian dalam situasi krisis tetap hidup dalam ketidakpastian: tanpa kontrak yang jelas, tanpa jaminan kesehatan, tanpa pesangon saat diberhentikan.
Salah satu contohnya dialami seorang pembaca detik’s Advokate yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Dalam email yang dikirimnya ke redaksi detik.com, ia menceritakan dirinya di-PHK dengan alasan efisiensi per 1 Maret 2019.
Pihak perusahaan menjanjikan pembayaran pesangon dan lain-lain paling lambat sampai Desember 2019. Namun, hingga Januari 2022, janji itu belum juga direalisasikan.
Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum menjadi persoalan serius yang menyebabkan perlindungan dan pemenuhan hak bagi pekerja seperti barang langka yang sulit didapatkan. Sering terjadi di negeri ini, penegakan hukum selalu tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, termasuk kepada para pekerja.
Penahanan Minggu Bulu dan Amirullah, pengurus serikat buruh di PT GNI di Polres Morowali Utara atas tuduhan penghasutan terjadinya bentrok pada 14 Januar 2023 menunjukkan secara terang-terangan dan telanjang bagaimana hukum dibonsai, buruh dibungkam, dan sering kali jadi tumbal.
Sebelum kejadian itu, para buruh melakukan demonstrasi menuntut perusahaan memenuhi hak buruh di industri tambang, seperti penyediaan alat perlindungan diri (APD) saat bekerja, sirkulasi udara di setiap gedung dan smelter dan meminta kejelasan hak-hak pekerja yang sudah meninggal akhir tahun 2022 saat sedang bekerja.
Aksi demonstrasi berakhir pada pukul 5 sore waktu setempat. Setelah itu, barisan massa aksi bubar dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Demonstran tidak tahu-menahu tentang bentrok malam hari karena mereka tidak sedang berada di lokasi.
Meski begitu, Minggu Bulu dan Amirullah, penanggung jawab aksi tetap ditahan karena dituduh sebagai biang kerok terjadinya kerusuhan bersama 17 buruh lainnya yang ditahan di Lapas Poso.
Banyak contoh lainnya terkait kasus pelanggaran hak pekerja yang tidak diurus dengan serius, berujung damai semu, bahkan diabaikan para penegak hukum. Ironisnya, tunggu viral baru ditangani. No viral, no justice. Sebelum kasusnya heboh, aparat penegak hukum kita seakan-akan tidak peduli, seolah tidak terjadi apa-apa.
Kondisi ini diperburuk karena sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang mengondisikan kaum pekerja untuk patuh dan tunduk, tanpa perlawanan. Tanpa sikap kritis dan keberanian menuntut upah layak yang menjadi haknya.
Lebih parah lagi, alih-alih mengutamakan kepentingan rakyat, kebijakan yang diproduksi memperlihatkan watak kekuasaan yang lebih pro-kapitalis.
Contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang secara terang-terangan menunjukkan bagaimana kebijakan didesain untuk mengakumulasi modal daripada memberi perlindungan bagi rakyat.
Dengan dalih efisiensi dan investasi, hak-hak buruh dipangkas. Mereka yang lantang bersuara menuntut hak malah dianggap sebagai pengganggu.
Lantas, kita patut dan pantas bertanya: sebenarnya negara ini untuk siapa? Apakah untuk kesejahteraan rakyat atau hanya demi kepentingan elite?
Lalu apa?
Perlindungan terhadap para pekerja bukan semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar, yaitu hanya menjadi tanggung jawab perusahaan atau mengharapkan niat baik pengusaha. Sebaliknya, pemerintah harus turun tangan.
Hukum ditegakkan. Aparat penegak hukum harus punya integritas: tidak menerima suap, bekerja secara jujur untuk memperjuangkan kebenaran. Kasus pelanggaran hak para pekerja mesti diusut tuntas dan diselesaikan dengan adil, tanpa tebang pilih.
Selain itu, gerakan buruh harus direvitalisasi. Serikat pekerja atau organisasi buruh mesti bergerak melampaui (beyond) soal tawar-menawar upah, tetapi juga menjadi wadah atau ruang pendidikan hak asasi manusia (HAM), politik, dan hukum bagi tenaga kerja.
Di tengah gempuran dan gelombang deras kapitalisme, solidaritas dan kolektivitas antarsesama buruh/tenaga kerja menjadi suatu hal yang perlu dibangun dan dihidupkan.
Dengan begitu, para pekerja memiliki kesadaran bahwa mereka juga manusia yang punya hak asasi, memiliki martabat dan kehormatan. Mereka bukan objek, mesin tanpa jiwa yang tenaga, pikiran, dan waktunya diisap serta dieksploitasi secara berlebihan hanya untuk keuntungan kapitalis.
Ketika kesadaran itu muncul, maka di mana terdapat sistem yang tidak adil, terjadi penindasan dan eksploitasi atas nama pembangunan, di situ pula perlawanan akan tumbuh secara organik untuk memperjuangkan hak. Bukan hanya soal upah dan jam kerja, tetapi lebih dari itu: demi keluhuran sebagai manusia.
Denyut nadi kehidupan suatu negara sangat ditentukan oleh keberadaan para pekerja. Karena itu, negara yang absen memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja, bahkan membuat kebijakan yang lebih pro kepada pemodal, sesungguhnya sedang berlaku secara tidak manusiawi.
Editor: Vansianus Masir

